KaringNews.id | Mahalnya harga kacang kedelai bukan hanya membebani pelaku usaha olahan kedelai. Bila pemerintah tidak bertindak menekan kenaikan harga kedelai, maka dapat memicu terkereknya harga pangan lainnya.
Demikian dikatakan Pengamat Ekonomi Sumatera Utara (Sumut) Gunawan Benjamin, Selasa (22/2/2022).
Baca Juga:
Mendag Zulhas: Harga Kedelai Naik Imbas Melemahnya Rupiah
"Naiknya harga kedelai pada hari ini ini, jelas beban yang ditanggung oleh pengusaha tahu tempe kita yang kebanyakan UMKM menjadi semakin berat," katanya.
Benjamin mengatakan, mahalnya harga kedelai mengulang kejadian yang sama setahun lalu tepatnya pada Februari 2021, saat harga kedelai naik dikisaran Rp 9 ribu hingga Rp 10 ribu per Kg. Pengusaha pun mengatasi masalah ini dengan mengubah ukuran tahu tempe dan terburuk gulung tikar.
"Jadi kalau direspon dengan mogok atau menutup usaha memang begitulah keadaan pengusaha yang merugi karena kedelai mahal," ucapnya.
Baca Juga:
Bulog Subsidi Harga Kedelai Rp 1.000 per Kilogram Hingga Desember 2022
Gunawan mengatakan, masalah baru muncul akibat pelaku usaha yang menutup usahanya, yakni penambahan angka pengangguran hingga kemiskinan.
"Kalau di Medan itu ada pengusaha tahu dan tempe sekitar 70-an usaha (gakoptani). Karena levelnya UMKM jadi kalikan saja dengan jumlah karyawan sekitar 5 hingga 15 orang. Maka ada sekitar 350 hingga 1.000 orang yang berpotensi kehilangan pekerjaan karena kedelai mahal," katanya.
Gunawan menyampaikan, pengusaha lainnya seperti penjual gorengan, pedagang kuliner termasuk ibu rumah tangga juga akan terbebani oleh mahalnya harga kedelai.
"Tahu tempe ini menjadi sumber protein utama masyarakat," terangnya.
Namun, masalah tidak berhenti di situ. Dampak yang ditimbulkan dari mahalnya kedelai itu bukan hanya bisa memicu terjadinya kenaikan produk turunan dari kedelai saja (tahu, tempe, susu), tapi bahan kebutuhan pangan lain juga bisa naik harganya.
"Jadi kalau kedelai harganya naik dan langka, harga kebutuhan pangan lainnya bisa ikut naik juga. Pengendalian inflasi kian rumit tentunya, dan daya beli masyarakat turun," imbuhnya.
Pemicu kenaikan harga didominasi oleh permintaan yang tinggi di China. Ditambah lagi kenaikan harga energi seperti minyak dunia yang memicu kenaikan harga kedelai termasuk juga harga minyak sawit.
"Kalau di tarik data, tren harga kedelai dunia itu naik sejak Oktober 2021," bebernya.
Untuk meredam efek domino kenaikan harga kedelai, kata Gunawan, dalam jangka pendek kedelai harus disubsidi pemerintah.
"Jalan keluar jangka pendeknya memang kedelai ini harus disubsidi," katanya.
Kemudian, jangka menengah dengan melakukan pembelian secara berjangka komoditas kedelai di pasar internasional.
Meskipun kebijakan itu tetap bisa menuai untung rugi, terlebih jika membeli di harga sekarang namun harga kedelai mengalami penurunan setelahnya, atau sampai saat kontrak pembelian jatuh tempo.
"Jalan keluar jangka panjangnya memang harus swasembada kedelai, meskipun bukan perkara yang mudah," ungkapnya.[zbr]